Kelola Zakat Tanpa Izin, Kiai dan Guru Ngaji Terancam Masuk Bui
20 Juli 2013, 08:00:05 Dilihat: 968x
Taufik Budi - Okezone Ilustrasi
JAKARTA - Undang-Undang Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011 dinilai lebay karena mengancam kelangsungan lembaga amil zakat. Apalagi undang-undang tersebut juga berpotensi melahirkan kriminalisasi untuk mempidanakan seseorang selama satu tahun dan denda Rp50 juta.
“Ini jelas lebay, orang-orang yang berniat baik untuk mengurus zakat malah diancam masuk penjara,” kata kuasa hukum Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz), Heru Susetyo, saat diskusi di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, semalam.
Dia menambahkan, langkah pemerintah untuk mengambil kendali pengelolaan zakat saat ini merupakan pertama kali dalam sejarah Indonesia. Pasalnya, pengeloaan zakat selama ini dilakukan masyarakat baik perseorangan maupun lembaga.
“Zakat yang dikelola masyarakat itu jauh sebelum ada negara Indonesia. Hampir setiap masjid, surau, langgar, musala, pondok pesantren, mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya. Hingga akhirnya lahir lembaga-lembaga amil zakat pada tiga dekade terakhir,” tambahnya.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999, mempunyai sejumlah kelemahan. Selain itu, juga rawan menimbulkan diskriminasi bagi pengelola zakat. Apalagi, pengesahan undang-undang tersebut terkesan dilakukan secara mendadak tanpa melibatkan masyarakat yang sebelumnya ikut merumuskan.
“Undang-undang ini baru pertama kali dalam sejarah Indonesia. Dan pengesahan undang-undang ini juga terkesan menelikung, karena sebelumnya melibatkan masyarakat saat penyusunannya, namun setelah lama tidak ada kabar tiba-tiba disahkan,” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut.
Kata Heru, Pasal 5, 6, 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011, menggambarkan, sentralisasi pengelolaan zakat nasional sepenuhnya di lembaga bentukan pemerintah yang bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Agama, yakni Baznas. Sementara itu, peran lembaga pengelola zakat dari masyarakat dipinggirkan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 17.
“Ini jelas pengelolaan zakat disentralisasi oleh pemerintah, sementara peran masyarakat dipinggirkan, dimarjinalkan,” tandasnya.
Meski menuai kontroversi, lanjut Heru, undang-undang tersebut dinilai bermaksud baik untuk menata dan mengintegrasikan pengeloaan zakat. Sebagai dampaknya, para amil tradisonal non-negara yang selama ini aktif mengelola zakat, terancam dipidana bila mereka bertindak sebaga amil tanpa izin pejabat berwenang.
“Akan berapa banyak kiai-kiai dan guru ngaji yang masuk penjara jika undang-undang ini diterapkan. Pengurus masjid juga turut terancam karena setiap Ramadan mereka selalu mengelola zakat fitrah,” tegasnya.
Atas dasar tersebut Komaz mengajukan dan mendaftarakan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 16 Agustus 2012. Setelah berjalan hingga 10 bulan dan melalui beberapa sidang, namun hingga kini MK belum mengeluarkan putusan.
“Belum adanya putusan, menimbulkan kekhawatiran lembaga-lembaga pengelola zakat terutama amil tradisonal. Yang menggugat ke KM ini terdiri sembilan lembaga amil zakat, satu amil zakat perseorangan dan tiga muzakki (pemberi zakat),” tutupnya.
(ris)